TENGGARONG – Di tengah perubahan zaman, warga Desa Ponoragan tetap menjaga api tradisi melalui sedekah bumi atau bersih desa.
Ritual sakral ini tak sekadar syukuran panen, tapi juga momentum kolektif untuk mempererat nilai-nilai budaya, spiritualitas, dan solidaritas antarwarga.
Melalui pelaksanaan tradisi tahunan bersih desa atau sedekah bumi, warga menunjukkan bahwa kebudayaan bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan juga fondasi masa depan yang kuat.
Kegiatan yang digelar pada Kamis (29/5/2025) ini bukan hanya menjadi ajang seremonial, tapi juga bentuk penghormatan terhadap alam, rasa syukur kepada Sang Pencipta, serta upaya memperkuat solidaritas sosial di tingkat akar rumput.
Dalam tradisi ini, masyarakat berkumpul, berdoa bersama, membawa hasil bumi, dan makan bersama dalam suasana penuh khidmat dan kekeluargaan.
Kepala Desa Ponoragan, Sarmin, menyampaikan bahwa tradisi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat desa yang masih hidup berdampingan erat dengan alam dan adat leluhur.
“Tradisi bersih desa bukan sekadar syukuran atas hasil panen, tapi lebih dalam dari itu. Ini adalah ruang kebersamaan, ruang penyatuan hati. Di sini kami saling mendoakan, mempererat silaturahmi, dan mengingat kembali nilai-nilai yang sering terlupakan di tengah kesibukan sehari-hari,” ujarnya.
Sarmin menegaskan bahwa sedekah bumi rutin digelar setiap tahun sebagai warisan turun-temurun yang selalu ditunggu masyarakat.
Kegiatan ini, menurutnya, juga menjadi sarana pemulihan sosial di tengah tekanan ekonomi, bencana, hingga perubahan iklim yang mulai dirasakan dampaknya oleh warga.
“Kami baru saja melewati musibah banjir yang merusak tambak-tambak ikan milik warga. Tapi dengan bersih desa, kami bangkit bersama. Budaya ini menyatukan kami dan menguatkan jiwa kami sebagai komunitas,” jelasnya.
Dalam acara tersebut, warga mengenakan pakaian adat, membawa hasil bumi seperti padi, buah-buahan, dan sayuran, serta menghias lokasi ritual dengan ornamen khas pertanian lokal.
Semua itu menunjukkan betapa eratnya hubungan antara masyarakat Ponoragan dengan alam sebagai sumber penghidupan utama.
Sarmin juga berharap agar tradisi ini dapat terus dilestarikan dan bahkan dikembangkan sebagai daya tarik wisata berbasis budaya.
Ia percaya bahwa kekuatan desa tidak hanya terletak pada fisik infrastrukturnya, tetapi juga pada keberlanjutan nilai-nilai hidup yang diwariskan leluhur.
“Kalau budaya kita pupus, maka kita kehilangan arah. Justru dengan menjaga tradisi seperti ini, kita membangun pondasi kuat untuk anak cucu kita. Bahkan, ini bisa dikembangkan sebagai potensi wisata budaya jika dikelola dengan baik,” tambahnya.
Menurutnya, pembangunan desa harus melibatkan pendekatan budaya, bukan sekadar fisik. Tradisi seperti bersih desa menunjukkan bahwa modernisasi dan pelestarian nilai-nilai adat dapat berjalan beriringan dan saling menguatkan.
“Kami ingin Ponoragan dikenal bukan hanya karena sawah dan tambaknya, tapi juga karena warganya yang masih memegang erat nilai-nilai luhur. Ini kekuatan sejati kami,” pungkas Sarmin.
Dengan semangat kebersamaan dan kekayaan nilai budaya yang terus hidup, Desa Ponoragan membuktikan bahwa kemajuan tidak harus menghapus tradisi—justru sebaliknya, tradisi adalah penopang utama arah pembangunan yang bermakna dan berkelanjutan. (adv)