DAERAH  

Tawa Kecil di Tengah Mal Samarinda: Kisah Rendi Solihin dan Anak-Anak Istimewa dari Tenggarong

Mata berbinar dan tawa kecil anak-anak mewarnai malam sederhana bersama Rendi Solihin di salah satu pusat perbelanjaan Samarinda.

Samarinda – Di bawah cahaya lampu mal terbesar di Samarinda, malam itu terasa lebih hangat dari biasanya. Tak ada gemerlap pesta atau tiupan lilin ulang tahun. Yang terdengar hanyalah tawa kecil, langkah pelan, dan suara kagum dari puluhan anak berkebutuhan khusus yang baru pertama kali menjejakkan kaki di pusat perbelanjaan.

Mereka datang dari SLB Negeri Tenggarong, diundang khusus oleh Wakil Bupati Kutai Kartanegara, Rendi Solihin, untuk menikmati malam sederhana penuh kebersamaan.

Alih-alih menggelar perayaan mewah, Rendi memilih kebahagiaan yang lebih bermakna — berbagi tawa dan waktu bersama anak-anak istimewa. Sang istri, Fety Puja Amelia, lebih dulu mengajak mereka makan malam di sebuah restoran. Di meja panjang yang penuh tawa dan senyum malu-malu, suasana terasa akrab dan hangat.

Usai makan, rombongan kecil itu bergeser ke toko sepatu dan pakaian. Rendi dan Fety mendampingi satu per satu anak mencoba sepatu baru. Sesekali Fety berjongkok, memastikan ukuran pas di kaki kecil mereka, sementara Rendi tersenyum melihat wajah-wajah polos itu menatap etalase dengan mata berbinar.

“Kegiatan ini sudah kami rencanakan beberapa pekan lalu. Saya ingin kebahagiaan yang saya rasakan juga mereka rasakan,” ujar Rendi lembut.

Setelah berbelanja, mereka singgah di gerai es krim. Gelak tawa memenuhi ruangan kecil itu. Ada yang tersenyum malu saat es krimnya menetes, ada pula yang tertawa lepas menikmati rasa manis yang mungkin jarang mereka cicipi. Malam sederhana itu berubah menjadi kenangan yang sulit dilupakan.

Bagi sebagian anak, malam itu adalah pengalaman pertama berjalan di antara etalase kaca dan musik lembut mal. Beberapa memeluk erat sepatu barunya seolah tak ingin dilepaskan.

“Ada yang sampai menangis,” tutur Lina Otaviani, guru SLB Negeri Tenggarong. “Mereka tidak menyangka bisa belanja sepatu dan baju sendiri.”

Di luar sana, ribuan anak dengan kebutuhan khusus masih hidup dalam keterbatasan. Data Dinas Sosial mencatat ada lebih dari 4.800 penyandang disabilitas di Kutai Kartanegara, sebagian besar masih berjuang untuk mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum yang layak.

Karena itu, malam sederhana itu terasa besar seolah membuka ruang kecil tempat perhatian tumbuh menjadi harapan.

“Semoga ini jadi awal sinergi yang lebih erat antara pemerintah dan masyarakat disabilitas,” kata Lina. “Kami masih butuh banyak hal, terutama akses yang layak untuk mereka.”

Rendi menegaskan bahwa Pemkab Kukar akan terus berupaya menghadirkan ruang dan kesempatan yang sama bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

“Kami akan semaksimal mungkin memberikan perhatian khusus kepada mereka. Anak-anak ini berhak merasakan kebahagiaan, pendidikan, dan kesempatan yang sama,” ujarnya.

Menjelang malam berakhir, Rendi menunduk, menyapa satu per satu anak yang memeluk tas belanja mereka. Tak ada kue, tak ada pesta hanya pelukan hangat dan ucapan terima kasih tulus.

Bukan hadiah mewah yang membuat malam itu istimewa, melainkan tawa polos anak-anak yang memenuhi ruang sederhana dengan kebahagiaan tanpa syarat.

Malam itu, kebahagiaan berpindah bentuk dari pesta menjadi empati, dari hadiah menjadi harapan.
Dan di antara tawa kecil itu, lahir sepotong doa yang sederhana namun dalam:
semoga dunia kelak lebih ramah bagi mereka yang berbeda.

Penulis: TIMEditor: TIFA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *