Oleh: Prakoso Yudho Lelono (Ketua KPU Kota Balikpapan)
Politik bangsa Indonesia belakangan ini makin riuh. Polarisasi seakan jadi menu harian. Politik uang masih menjadi isu utama. Sedangkan isu SARA sesekali dipakai sebagai senjata. Di tengah situasi seperti ini, Hari Kesaktian Pancasila seharusnya bukan sekadar ritual tahunan, tapi alarm keras yang mengingatkan: jangan-jangan kita sudah terlalu jauh melenceng dari nilai yang sejak awal dimaksudkan sebagai perekat bangsa.
Tanggal 1 Oktober setiap tahun selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Banyak orang mengingatnya sebatas agenda seremoni—apel, pembacaan ikrar, dan doa bersama. Padahal, kalau mau jujur, yang jauh lebih penting adalah merenungkan: apakah Pancasila masih benar-benar kita jalankan dalam kehidupan politik dan demokrasi kita hari ini, atau hanya kita jadikan jargon?
Kita baru saja melewati gelombang besar pesta demokrasi, mulai dari Pemilu hingga Pilkada serentak di berbagai daerah, termasuk di Kaltim. Ada banyak catatan yang bisa kita tarik: soal polarisasi politik yang makin terasa, soal isu SARA yang kadang dipelintir demi kepentingan sempit, sampai soal pragmatisme masyarakat yang masih kuat. Semua ini sebenarnya adalah “tes kecil” tentang sejauh mana Pancasila masih hidup dalam denyut politik bangsa kita.
Sejak kecil, kita sudah hafal sila demi sila dari Pancasila. Tapi menghafal tentu tidak sama dengan menghayati. Hari Kesaktian Pancasila seharusnya jadi momen pengingat bahwa dasar negara ini bukan hanya prasasti sejarah, tapi pedoman hidup.
Mari kita refleksi kondisi politik bangsa kita hari ini. Demokrasi kita memang berjalan, tapi apakah selalu sejalan dengan nilai Pancasila? Demokrasi kita sering kebablasan jadi sekadar ajang rebutan kursi. Politik transaksional, politik uang, bahkan politik identitas masih sering menghantui. Padahal, sila keempat Pancasila dengan jelas bicara soal musyawarah, soal kebijaksanaan, soal keterwakilan, bukan soal siapa punya modal paling tebal atau siapa bisa paling lihai memainkan sentimen.
Senuatanya, kalau mau jujur, politik Indonesia belakangan ini terasa makin panas. Polarisasi politik membuat masyarakat sering terbelah dua, bahkan sampai ke meja makan dan grup WhatsApp keluarga. Yang satu dukung si A, yang lain dukung si B, lalu komunikasi jadi buntu. Di titik ini, kita perlu kembali ke sila ketiga: “Persatuan Indonesia.” Persatuan bukan berarti semua harus sama dan serqagam, bukan berarti semua harus sepakat. Persatuan berarti kita tetap bisa berbeda pilihan politik tanpa saling merendahkan atau menuding salah dan sesat. Demokrasi membuka peluang kompetisi, tetapi mestinya kompetisi yang sehat, bukan permusuhan berkepanjangan.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun ini harusnya mengingatkan kita, terutama para politisi, penyelenggara pemilu, dan masyarakat, bahwa politik sepantasntya menjadi sarana memperjuangkan kemaslahatan bersama. Kalau setiap kontestasi hanya diisi oleh perebutan kekuasaan tanpa orientasi pada kepentingan rakyat, jelas itu mengkhianati semangat Pancasila.
Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” bukan sekadar slogan. Ia mestinya jadi arah dari seluruh kebijakan publik, termasuk hasil dari proses politik yang kita jalani.
Tentu saja besar harapan kita semua bahwa politisi sungguh-sungguh menghayati Pancasila. Dan semestinya mereka sadar bahwa mandat rakyat bukan sekadar tiket kekuasaan, tapi amanah untuk mewujudkan keadilan sosial. Jangan lupa, masyarakat juga punya tanggung jawab yang tak kalah besar. Demokrasi itu bukan hanya urusan elite politik. Masyarakat punya peran penting dalam menjaga agar nilai Pancasila tetap jadi pedoman.
Misalnya, saat ada kandidat yang coba memainkan isu SARA, masyarakat harus tegas menolak. Saat ada politik uang, masyarakat mestinya berani bilang “tidak.” Karena kalau rakyat sendiri permisif, maka politik kita akan terus terjebak di lingkaran yang sama: jual beli suara, pragmatisme, dan polarisasi.
Hari Kesaktian Pancasila bisa jadi momentum bagi masyarakat untuk kembali sadar, bahwa suara mereka punya nilai yang jauh lebih tinggi dari tawaran keuntungan sesaat di masa kampanye.
Demokrasi kita jelas masih memiliki ruang perbaikan. Tapi itu bukan alasan untuk pesimis. Justru di momen peringatan Hari Kesaktian Pancasila ini, kita bisa mengingat bahwa bangsa ini pernah melewati ujian-ujian sejarah yang lebih berat: pemberontakan, perpecahan, hingga krisis multidimensi.
Kalau dulu Pancasila bisa jadi titik temu untuk menyatukan bangsa, semestinya hari ini Pancasila juga bisa jadi pegangan dalam menghadapi tantangan politik dan demokrasi kita. Yang dibutuhkan hanya satu: kesungguhan, bukan sekadar slogan.
Hari Kesaktian Pancasila jangan berhenti jadi seremoni. Ia harus jadi ruang refleksi: apakah kita sudah menjalankan nilai-nilai Pancasila dalam demokrasi kita hari ini? Politisi, birokrat, penyelenggara pemilu, media, dan masyarakat punya peran masing-masing. Kalau semua sepakat menempatkan Pancasila sebagai fondasi, maka demokrasi kita akan lebih sehat, politik kita akan lebih beradab, dan bangsa ini akan lebih kokoh melangkah ke depan.
Di tengah hiruk pikuk politik yang penuh tarik menarik kepentingan, Pancasila seharusnya hadir sebagai jangkar. Karena pada akhirnya, kekuasaan itu sementara, tapi persatuan bangsa dan keadilan sosial adalah warisan yang akan menentukan masa depan generasi berikutnya.