Jakarta — Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berhasil membongkar jaringan judi online berskala besar dengan total aset disita mencapai Rp530 miliar. Dua tersangka berinisial OHW dan H ditetapkan sebagai pelaku utama, dan keduanya dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Pengungkapan ini merupakan bagian dari operasi besar yang melibatkan sejumlah lembaga, termasuk Kemenko Polhukam, Kominfo, Kejaksaan Agung, PPATK, dan OJK. Kabareskrim Polri Komjen Pol Wahyu Widada menjelaskan, kedua tersangka diduga mendirikan perusahaan cangkang untuk menyamarkan aliran dana dari situs judi online.
“Dari pengungkapan tersebut, Polri menyita aset senilai Rp530 miliar, yang meliputi dana di 22 rekening bank sebesar Rp250 miliar, surat berharga negara senilai Rp276 juta, empat kendaraan mewah, serta 197 rekening dari delapan bank yang kini telah diblokir,” ujar Komjen Wahyu dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/5).
Modus operandi yang digunakan dinilai kompleks dan canggih. Dana hasil judi dialirkan melalui rekening nomine, memanfaatkan teknologi payment gateway, QRIS, hingga mata uang kripto untuk menyulitkan pelacakan aliran uang — sebuah metode yang dikenal sebagai layering dalam praktik pencucian uang.
Selain Pasal perjudian, para tersangka dijerat dengan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU, yang mengancam pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
Komjen Wahyu menegaskan bahwa judi online saat ini telah menyusup ke berbagai lapisan masyarakat, termasuk pelajar, mahasiswa, bahkan aparat penegak hukum. “Sebagian besar taruhan dilakukan dalam nominal kecil, namun frekuensinya sangat tinggi. Ini menunjukkan adanya kecanduan dan tekanan ekonomi yang luar biasa di masyarakat,” katanya.
Polri mengimbau masyarakat untuk tidak tergiur iming-iming keuntungan cepat dari judi online. Pengawasan terhadap anak-anak dan generasi muda juga diminta diperketat agar tidak menjadi korban dari praktik perjudian digital.