Hadapi Ancaman Banjir, Pemkab Kukar Siapkan Relokasi dan Pemulihan Sungai di Loa Janan

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kukar, Wiyono.

TENGGARONG – Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) tengah menyiapkan strategi jangka panjang untuk mengatasi banjir yang terus berulang di wilayah Kecamatan Loa Janan.

Salah satu langkah besar yang kini mulai dipertimbangkan adalah relokasi warga dari bantaran sungai serta pemulihan ekosistem aliran air.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kukar, Wiyono, menyebut penanganan banjir kini tak bisa lagi dianggap masalah musiman.

Ia menyebut banjir telah menjadi ancaman bencana yang membutuhkan pendekatan lintas sektor.

“Kalau hanya andalkan normalisasi sungai tanpa solusi jangka panjang, itu hanya menunda masalah,” tegasnya, Jumat (18/7/2025).

Rencana relokasi disebut sebagai opsi penting, mengingat sebagian besar titik rawan banjir berada di kawasan yang secara tata ruang tidak layak huni.

Meski demikian, Wiyono menegaskan bahwa relokasi baru sebatas identifikasi awal, termasuk pendataan jumlah warga terdampak dan potensi lahan pengganti.

“Kita harus hati-hati. Relokasi menyangkut hak warga dan juga harus taat aturan. Tidak bisa gegabah,” ujarnya.

Tak hanya itu, penyebab banjir juga dikaitkan dengan kerusakan lingkungan di hulu, termasuk sedimentasi akibat aktivitas pertambangan.

Oleh karena itu, penanganan dilakukan tidak hanya dari sisi hilir, tapi juga dengan menyusun kajian teknis terhadap aktivitas di kawasan hulu sungai.

Pemkab Kukar melalui Dinas PU telah menyusun rencana aksi penanganan banjir yang dimulai sejak Juli 2025 dan akan berlanjut hingga 2026.

Tahapan kerja mencakup normalisasi sungai, pembangunan sistem drainase baru, serta koordinasi dengan instansi lain seperti Dinas Perkim dan lembaga lingkungan hidup.

“Kita ingin penyelesaian tuntas, bukan tambal sulam. Tapi itu butuh komitmen semua pihak, termasuk masyarakat,” kata Wiyono.

Ia juga menyoroti pentingnya mengubah perilaku warga agar tidak lagi membangun di sempadan sungai. Menurutnya, normalisasi yang dilakukan tidak akan berdampak maksimal jika pembangunan liar terus berlanjut.

“Setelah kita bersihkan, kalau masih dibangun lagi di tepi sungai, akan kembali seperti semula,” tegasnya.

Sementara itu, skema ganti rugi untuk relokasi masih dikaji agar tidak menimbulkan persoalan hukum.

Wiyono mengingatkan, bangunan di bantaran sungai secara hukum memang tidak dibenarkan, sehingga pendekatan sosial harus diutamakan.

“Kami ingin menyelesaikan ini dengan adil, tanpa menimbulkan beban hukum atau konflik sosial,” tutupnya. (adv)

Penulis: TIMEditor: TIFA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *