Penajam – Alih fungsi lahan dari areal pertanian menjadi lahan perkebunan bukan semata pilihan melainkan dilema bagi para petani.
Hal ini karena padi minimal harus ditanam setahun sekali, sementara kebutuhan air irigasi juga tidak terpenuhi. Sementara untuk perkebunan hanya sekali tanam dan tidak memerlukan air irigasi. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPRD Penajam Paser Utara (PPU), Sujiati.
“Kesulitan akses irigasi dan rendahnya harga gabah pada masa itu membuat petani terpaksa mengambil langkah tersebut demi keberlanjutan ekonomi mereka,” ujar Sujiati.
Ia menjelaskan, alih fungsi bukan semata pilihan melainkan dilema, sementara padi minimal harus ditanam setahun sekali, demikian kebutuhan air irigasi tidak terpenuhi.
“Akhirnya lahan pun sempat tidur, hingga akhirnya dialihkan ke sawit, karena rata-rata kebanyakan sekarang kebun sawit,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti harga gabah saat itu, yang tidak seperti sekarang Rp6.500 dari Bulog. Ditambah kualitas hasil panen gabah, membuat kesejahteraan petani tidak terjamin.
“Sawit menjadi alternatif yang menjanjikan. Tapi kan kalau sekarang, harga gabah sudah membaik, saya sepakat lahan yang belum berubah fungsi itu dimaksimalkan kembali untuk menanam padi,” ucapnya.
Hanya tinggal kebutuhan irigasi yang harus didorong sehingga petani tak khawatir nasib lahan sawah mereka. “Jika harga gabah saat ini terus stabil dan meningkatkan, maka lahan-lahan yang belum berubah fungsi sebaiknya dioptimalkan. Perlu pendekatan persuasif dan sosialisasi yang digalakkan supaya petani tetap menggunakan lahannya untuk pertanian padi,” kata Sujiati.
Dengan demikian, ia berharap laju alih fungsi lahan dapat ditekan karena dirinya juga mengkhawatirkan hal itu akan berdampak pada ketahanan pangan daerah.
“Mudahan harga tersebut semakin berkelanjutan bahkan bisa naik harganya. Karena khawatir juga, kita saat ini kan mengupayakan swasembada pangan, kalau lahan pertanian sedikit, bagaimana dengan ketahanan pangan daerah,” tutup Sujiati. (adv)